Jun 3, 2015

#30HariMenulis - Hari Ke-3: Sekilas Tentangku Dari Sudut Pandangnya

gambar dari sini

Disclaimer: Tokoh 'aku' adalah rekaan semata. Jika ada kesamaan dengan tokoh nyata, itu memang disengaja. #eh


Aku ingin bercerita tentang sahabatku.

Orang-orang memanggilnya Opan. Namun belakangan aku tahu kalau nama aslinya adalah Yovano. Ketika pertama kali memasuki ruang kerja baruku, aku langsung melihatnya dari pintu masuk, tengah asyik di depan komputer. Mungkin sedang mengerjakan laporan-entah-apa, mungkin juga diam-diam membuka laman Facebook. Berbeda dengan rekan kerja lain yang langsung menyambutku dan bertanya basa-basi tentang daerah asal dan latar belakang pendidikanku, ia memilih untuk tetap berada di balik monitor komputernya. Wah, ramah sekali, pikirku, berusaha agar tidak memutar bola mata.

Bos menunjuk sebuah meja kerja yang akan menjadi tempatku. Ukurannya sedang, tidak terlalu besar atau terlalu kecil, sama persis dengan meja staf yang lain. Di atasnya terdapat monitor komputer berlayar datar. Posisi mejaku itu persis… di sebelah meja si sok sibuk. Aku melangkah menuju mejaku. Saat itulah, seolah baru sadar apa yang sedang terjadi, si sok sibuk menoleh ke arahku, wajahnya menunjukkan keterkejutan.

“Oh, hai. Kamu si anak baru itu?” Ia mengulurkan tangan.

Aku menjabat tangannya sambil memaksakan senyum ramah yang profesional (aku lebih senang menyebutnya senyum palsu yang profesional). “Iya, Mas.”

“Opan,” ujarnya, membalas senyum pal—profesionalku. Aku menyebutkan namaku.

“Nah, selamat datang di Gorontalo!” Itulah kalimat terakhirnya sebelum kembali menekuni monitornya. Sekilas kulihat angka-angka di monitornya. Microsoft Excel. Mungkinkah ia tengah mengerjakan laporan keuangan? Tapi tidak mungkin. Divisi ini tidak berhubungan dengan keuangan. Setidaknya begitulah anggapanku semula.

Aku melirik monitorku. Mati. Aku tak yakin apa yang harus kulakukan. Sementara bertanya-tanya kepada Opan saat ini bukanlah waktu yang tepat, mengingat ia sangat berkonsentrasi pada angka-angka di hadapannya. Kedua alisnya berkerut. Gestur yang menurut orang-orang… apa ya? Senggol bacok? Hehe.

Untunglah aku tak perlu berlama-lama dalam situasi yang canggung tersebut sebab tak lama kemudian bos memanggilku, dan aku diberi pengarahan tentang apa saja yang menjadi tugasku di divisi ini.

***
Begitulah awal perkenalanku dengan Opan. Sekitar dua minggu kami hanya saling bertukar sapa singkat, meski ia tak ragu menjawab pertanyaanku yang berhubungan dengan pekerjaan. Awalnya kupikir anaknya pendiam. Tapi saat berinteraksi dengan orang lain, anehnya ia sangat ramah. Beda halnya ketika berbicara denganku. Hanya seperlunya saja. Itu juga aku yang memulai percakapan—dan biasanya berakhir dengan cepat. Apa yang salah denganku? Mengapa ia begitu tak bersahabat?

Namun memasuki minggu ketiga, ia mulai mengambil inisatif untuk memulai percakapan. Tentu saja aku menanggapinya dengan senang hati. Bagaimanapun, kami adalah rekan sekerja, meja kami bahkan bersebelahan. Lama-kelamaan, ia menjadi lebih terbuka. Ia ternyata suka bercerita. Apa saja. Hal-hal yang disukainya, hal-hal yang dibencinya, macam-macam. Ia suka menceritakan kisah-kisah lucu yang mampu membuatku terbahak, atau menceritakan kisah-kisah seram yang pernah dialaminya. Saking seramnya, aku sempat berpikir kalau ia hanya mengarang-ngarang saja. Tapi kalau memang cerita-ceita itu hanya karangan semata, kupikir ia cukup berbakat. Mungkin suatu saat ia harus mencoba menulis novel horor.

Seiring berlalunya waktu, kami menjadi lebih akrab. Aku tak ragu menceritakan masalah pribadiku kepadanya, sebaliknya, ia juga suka curhat padaku. Kami menjadi semacam partner. Kami mendiskusikan banyak hal, termasuk hal-hal yang tidak menjadi minatnya. Misalnya batu akik. Aku tergila-gila pada batu akik sementara ia tidak. Namun ia cukup baik hati untuk bertanya-tanya segala hal tentang batu akik kepadaku. Aku pernah memberinya dua bongkah batu akik yang siap diasah, tapi sampai saat ini ia hanya menyimpannya di laci mejanya. Yah, setidaknya ia tak membuangnya.

Sejauh ini, yang aku tahu tentang Opan adalah bahwa ia anak pertama dari dua bersaudara. Adik laki-lakinya menderita autis. Dari caranya bercerita tentang adiknya, terlihat jelas bahwa ia sangat menyayangi adiknya itu. Kedua orang tuanya berprofesi sebagai guru. Ayahnya dulunya galak dan ringan tangan. Opan menunjuk bekas luka sabetan benda tajam di bawah mata kanannya. Ia bilang itu perbuatan ayahnya. Syukurlah bekas luka itu adalah hal terakhir yang dilakukan ayahnya kepadanya, sebab sejak saat itu, ayahnya tak pernah lagi ringan tangan.

Meski aku sering bercerita tentang istriku kepada Opan, tapi kelihatannya ia tak berniat sedikitpun bercerita tentang kehidupan cintanya. Mungkin ia merasa hal tersebut terlalu pribadi. Ia pernah keceplosan bercerita tentang seorang perempuan yang melarangnya mengenakan cincin batu akik. Tapi ketika aku bertanya siapa perempuan itu, ia hanya tersenyum penuh makna dan berkata, “Itu… rahasia.” Ah, bikin penasaran saja.

Dari Opan aku jadi tahu bahwa ternyata ada orang-orang tidak mudah akrab dengan orang lain. Mungkin awalnya mereka terlihat cuek, bahkan sombong. Tapi kenyataannya bisa saja bertolak belakang. Mungkin kita hanya perlu memberi mereka sedikit waktu tambahan. :)

—Y
03062015


#30HariMenulis
Hari ke-3: "Ceritakan hidupmu dari sudut pandang orang lain."

No comments:

Post a Comment

Linkwithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...