Jun 4, 2015

#30HariMenulis - Hari Ke-4: Insidious Chapter 3: Prologue

gambar dari sini


Insidious Chapter III:
PROLOGUE



Aku rindu Mom. Sangat, sangat merindukannya.

Itulah mengapa aku bersusah payah jauh-jauh datang ke kota ini untuk menemukan alamat Elise Rainier. Kabarnya ia adalah seorang cenayang hebat. Keinginanku untuk bisa berkomunikasi dengan Mom membuatku melakukan hal-hal yang tak masuk akal. Dan Elise Rainer adalah harapan terakhirku.

*

Sejak Mom meninggal, tak pernah sehari pun kulewati tanpa memikirkannya. Demi Tuhan, Mom terlalu muda untuk meninggalkan dunia ini. Kami masih membutuhkannya. Aku masih membutuhkannya. Hubunganku dengan Dad tidak terlalu baik. Maksudku, ia memang berusaha menjadi ayah yang baik bagi aku dan adikku. Tapi kurasa ia bukan orang yang tepat untuk tempat mencurahkan isi hatiku. Dad tak mengerti jalan pikiran anak perempuan. Momlah bisa memahamiku. Kini ia telah tiada. Yang dapat kulakukan hanyalah berpicara pada fotonya.

Kupikir aku telah kehilangan akal sehatku saat hal-hal aneh—yang tadinya kuabaikan—mulai terjadi di sekitarku. Kau mungkin berpikir aku gila, tapi sungguh, aku bisa merasakan kehadiran Mom. Barang-barangku mulai berpindah dengan sendirinya. Diaryku yang kuletakkan di nakas sebelum tidur tiba-tiba telah pindah ke kolong tempat tidur saat aku bangun keesokan paginya. Mungkin saja diary itu terjatuh, tapi apa mungkin sebuah buku harian bisa menggelinding hingga ke bawah tempat tidur?

Itu pasti Mom. Entah apa yang ingin disampaikannya kepadaku, tapi aku yakin ia berusaha membuat kontak denganku. Aku memikirkan banyak hal yang ingin kusampaikan ke Mom bila suatu saat nanti, entah bagimana caranya, aku bisa berbicara dengannya. Banyak hal yang ingin kutanyakan padanya. Aku ingin bercerita tentang Dad yang tidak mengerti keinginanku untuk bersekolah akting. Aku ingin bercerita tentang Alex, adikku, yang masih kesulitan bangun pagi—ia terlalu banyak menonton video penampakan hantu di internet hingga lewat tengah malam. Aku ingin bertanya bagaimana cara menghilangkan rasa gugupku saat mengikuti audisi. Aku ingin bilang bahwa aku rindu padanya.

Suatu malam aku mendengar suara-suara dari lubang angin di kamarku. Mungkin itu hanya suara angin. Tapi aku berani bersumpah bawah suara itu memenyebut-nyebut namaku. Tidak terlalu jelas, tapi kalau aku berkonsentrasi dan menajamkan pendengaranku, aku bisa mendengar suara desahan yang berbisik, “Quinn…”, berkali-kali. Namun saat aku menjawab panggilan itu, suaranya mengilang. Yang tersisa hanyalah desahan angin. Aku tak lagi mendengar Mom memanggil namaku.

Aku menemukan sebuah buku di perpustakaan kota. Buku itu berisi petunjuk cara berkomunikasi dengan orang yang telah meninggal. Aku sedikit terkejut bahwa ternyata memang ada buku semacam itu. Meski awalnya aku merasa ragu, namun pada akhirnya aku memutuskan untuk membawa pulang buku tersebut. Kupikir tak ada salahnya mencoba berkomunikasi dengan Mom.

Dad heran saat melihatku suatu hari membawa pulang beberapa batang lilin hitam dari supermarket. “Itu untuk apa?” Ia bertanya. Aku menjawab bahwa lilin-lilin itu untuk dekorasi. Ia hanya mengangkat bahu dan berkata, “Asal kau jangan sampai membakar gedung apartemen ini.” Aku merasa tidak perlu menjelaskan bahwa lilin-lilin tersebut akan kugunakan dalam eksperimenku untuk berkomukasi dengan arwah Mom—sesuai petunjuk dalam buku yang kupinjam dari perpustakaan.

Sayangnya buku itu ternyata berisi omong kosong. Aku sudah mencoba semua petunjuk di dalamnya, bahkan mengulangnya beberapa kali. Tak ada tanda-tanda kehadiran Mom. Aku nyaris putus asa dan hampir saja membuang buku itu ke jendela, seandainya saja aku tidak ingat bahwa itu buku pinjaman. Saat aku mulai putus asa, aku mendengar cerita tentang Elise Rainer.

*

Pencarianku tidak sia-sia. Aku berhenti di depan sebuah rumah, di antara rumah-rumah yang bentuknya mirip satu sama lain. Aku mencocokkan nomor rumah itu dengan kertas lusuh yang sejak tadi kugenggam dengan erat, seolah-olah hidupku bergantung dari secarik kertas tersebut. Nomornya sama persis.

Dengan ragu, aku melangkahkan kakiku memasuki halamannya yang ditumbuhi rumput pendek yang kelihatannya baru dipangkas. Aku menaiki undakan kayunya dan berhenti sejenak di depan pintu.

Aku menarik napas dan mengetuk pelan pintunya, berharap Elise Rainer menyambutku dengan ramah.


FIN



Catatan: Tema hari ini lumayan sulit. Seharian ini saya berusaha mencari ide untuk menulis fanfiction dari film yang sudah saya tonton, tapi alih-alih menemukan judul film yang pas, yang melintas di benak saya malah berbagai judul game yang pernah saya mainkan. Sayang sekali, temanya mewajibkan untuk menulis fanfiction dari film, bukan dari game. T.T

Akhirnya saya memilih film Insidious Chapter 3 yang saya tonton Selasa malam lalu, dan mencoba menuliskan prolog dari film tersebut. Maaf, hasilnya seadanya. Tak banyak dialog karena saya memang kesulitan menulisnya. Semoga berkenan. Komentar dari pembaca sekalian sangat diharapkan. :)

—Y
04062015


#30HariMenulis
Hari ke-4: "Tulislah sebuah kisah fanfiction dari film favoritmu."
- fanfiction is about characters or settings from an original work of fiction, created by fans of that work rather than by its creator - wikipedia

No comments:

Post a Comment

Linkwithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...